Beranda | Artikel
Lelaki Beriman Dari Keluarga Firaun
Selasa, 27 November 2018

LELAKI BERIMAN DARI KELUARGA FIR’AUN

Pertarungan antara keimanan dan kekufuran; antara hak dan batil akan senantiasa ada di setiap zaman. Dengannya akan tersingkap jati diri para pembela dan pendukung dari masing-masing pihak. Para pembela dan pendukung kebathilan terus mencari–cari dalih untuk membenarkan kebathilan mereka, dan menempuh segala cara untuk membela dan mempertahankannya. Sedangkan ahlul haq mereka senantiasa bertawakkal kepada Allah, dan menempuh cara-cara yang diridhai Allâh Azza wa Jalla sampai datang kemenangan yang di janjikan.

Allâh Azza wa Jalla berfirman.

وَقُلْ جَاءَ الْحَقُّ وَزَهَقَ الْبَاطِلُ ۚ إِنَّ الْبَاطِلَ كَانَ زَهُوقًا

Dan katakanlah: “Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap.” Sesungguhnya yang batil itu adalah sesuatu yang pasti lenyap. [1].

Maka ambilah pelajaran dari kisah ini, wahai Ulil Albab!

Allâh Azza wa Jalla telah mengutus Nabi Musa kepada Fir’aun dan para pembesarnya seperti Haman dan Qarun. Saat itu, Fir’aun seorang raja, Haman menteri dan Qarun adalah orang Israil yang merupakan kaum Nabi Musa tapi ia memeluk agama Fir’aun sekaligus pembesarnya dan dia memiliki harta melimpah.[2] Saat nabi Musa Alaihissalam mendatangi mereka membawa kebenaran, membawa bukti ayat-ayat Allâh Azza wa Jalla dan keterangan yang nyata dari sisi Allâh, Fir’aun tetap dalam kesesatannya bahkan semakin sesat dan menyesatkan dan terus melanjutkan kesewenangan dan keingkarannya. Oleh karena itu dengan nada mengingkari kerasulan dan kenabian Musa, mereka (Fir’aun dan para pembesarnya) mengatakan“Musa adalah seorang ahli sihir yang pendusta” [Al-Mu’min/Ghâfir/40:24]

Fir’aun melakukan itu, karena ia mengingkari adanya Rabb yang maha pencipta [3] dan enggan beribadah kepada-Nya, bahkan dia mengaku-ngaku dirinya tuhan yang diibadahi sebagaimana Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَحَشَرَ فَنَادَىٰ ﴿٢٣﴾ فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ

Maka ia mengumpulkan (pembesar-pembesarnya) lalu berseru memanggil kaumnya seraya berkata’akulah tuhan kalian yang paling tinggi.”[An Nazi’ât/79:23-24]

Sementara itu, para pembesar kaum Fir’aun menyarankan raja mereka yaitu Fir’aun agar menyiksa Nabi Musa dan merubah keimanan dengan kekafiran serta melakukan penolakan dan penyiksaan. Mereka juga membisikkan bahwa dakwah Nabi Musa merupakan sesuatu yang akan merusak keyakinan bangsa Qibthi.[4] Para pembesar kaum Fir’aun berkata kepada Fir’aun,  “Apakah kamu membiarkan Musa dan kaumnya untuk membuat kerusakan di negeri ini (Mesir) dan meninggalkan kamu serta tuhan-tuhanmu?” [5], kemudian mereka mengusulkan sesuatu yang Allâh abadikan perkataan mereka ini:

قَالُوا اقْتُلُوا أَبْنَاءَ الَّذِينَ آمَنُوا مَعَهُ وَاسْتَحْيُوا نِسَاءَهُمْ ۚ وَمَا كَيْدُ الْكَافِرِينَ إِلَّا فِي ضَلَالٍ

Mereka berkata, “Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup wanita-wanita mereka.” Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka). [Al-Mu’min/Ghâfir/40:25]   

Setelah semua hujjah telah sampai kepada Fir’aun, dan ia tidak dapat berbuat apapun kecuali hanya ingkar, dan dengan provokasi para pembesarnya maka ia mulai menggunakan kekuasaan. Fir’aun mengamini hasutan para pembesarnya dengan mengatakan “kita akan bunuh anak-anak laki-laki mereka (para pengikut Musa) dan kita biarkan hidup perempuan-perempuan mereka dan sesungguhnya kita berkuasa penuh atas mereka.” Mereka membunuh anak-anak orang beriman dan membiarkan hidup wanita-wanitanya, bahkan mereka berencana untuk membunuh Musa Alaihissalam. Sebagaimana yang Allâh Azza wa Jalla beritakan :

وَقَالَ فِرْعَوْنُ ذَرُونِي أَقْتُلْ مُوسَىٰ وَلْيَدْعُ رَبَّهُ ۖ إِنِّي أَخَافُ أَنْ يُبَدِّلَ دِينَكُمْ أَوْ أَنْ يُظْهِرَ فِي الْأَرْضِ الْفَسَادَ

Dan berkata Fir’aun (kepada pembesar-pembesarnya): “Biarkanlah aku membunuh Musa dan hendaklah ia memohon kepada Rabbnya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi.” [Al-Mu’min/Ghâfir/40:26]

Mendengar hal tersebut salah seorang dari keluarga Fir’aun yang beriman kepada Nabi Musa, yang menyembunyikan keimanannya memberikan argumen dan pendapatnya dalam rangka membela Nabi Musa. Allâh Azza wa Jalla mengisahkan tentang laki-laki yang beriman dari keluarga Fir’aun ini dalam firman-Nya:

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ    

Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu. Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. [Al-Mu’min/Ghâfir/40:28]

Maksudnya, bahwa orang ini menyembunyikan keimanannya ketika Fir’aun bermaksud membunuh Nabi Musa lalu meminta pendapat dari para pembesarnya, maka orang ini mengkhawatirkan Nabi Musa, kemudian ia (dengan keberaniannya) namun tetap dengan lemah lembut menyarankan agar (Fir’aun) tidak melakukan niatnya tersebut. Ia sampaikan itu sebatas pada usulan dan penyampaian pendapat.[6]

Yang masyhur (dari pendapat para Ulama) lelaki Mukmin ini adalah orang Qibthi dari keluarga Fir’aun. As-Sudiy mengatakan, “Dia adalah anak paman Fir’aun’ dan ada juga yang mengatakan bahwa dia termasuk orang yang selamat bersama Musa. Ibnu Jarir memilih pendapat ini dan membantah orang yang mengatakan bahwa lelaki tersebut berasal dari orang Israil (dengan bukti) Fir’aun mau memperhatikan dan mau mendengarkan perkataannya dan tidak jadi membunuh Musa (pada saat itu). Seandainya orang ini adalah dari bangsa Israil tidak diragukan lagi tentu dia akan segera mendapatkan hukuman karena dia termasuk orang Israil. Dan Ibnu Juraij dari Ibnu Abbas [7] mengatakan bahwa tidak ada yang beriman diantara keluarga Fir’aun kecuali laki-laki ini dan istri Fir’aun. Lelaki inilah  yang datang dari ujung kota bergegas-gegas seraya berkata, “Hai Musa, sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, oleh karena itu keluarlah (dari kota ini) sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang memberi nasehat kepadamu.” [8] ” diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hâtim.[9]

Laki-laki yang beriman dan menyembunyikan keimanannya dari kaumnya ini, tidak menampakkan keimanannya kecuali pada hari dimana Fir’aun mengatakan akan membunuh Musa, maka lelaki tersebut menampakkan keimanannya dan berani menampakkannya di hadapan Fir’aun. Ini dia lakukan karena Allâh Azza wa Jalla  . Bahkan dia berani menasehati Fir’aun dengan perkataannya yang sangat santun.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ (وَفِي رِوَايَةٍ:حَقٍّ) عِنْدَ سُطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama adalah (menyampaikan) perkataan adil (dalam riwayat yang lain perkataan hak) dihadapan pemimpin yang lalim [10]

Apa yang dilakukan lelaki ini merupakan tingkatan jihad yang paling tinggi. Ucapan anak pamannya ini merupakan salah satu bentuk keadilan dan kebenaran, karena dalam penyampaian pendapat itu ia telah membuka rahasia keimanannya yang selama ini ia sembunyikan.

وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ

Dan seorang laki-laki yang beriman di antara pengikut-pengikut Fir’aun yang menyembunyikan imannya berkata:

أَتَقْتُلُونَ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ وَقَدْ جَاءَكُمْ بِالْبَيِّنَاتِ مِنْ رَبِّكُمْ

Apakah kamu akan membunuh seorang laki-laki karena dia menyatakan: “Tuhanku ialah Allah padahal dia telah datang kepadamu dengan membawa keterangan-keterangan dari Tuhanmu.

Apakah kamu akan membunuh seseorang karena dia mengatakan tuhannya adalah Allâh padahal dia datang dengan membawa berbagai mukjizat dan kejadian luar biasa yang telah dijanjikan dan telah kalian saksikan. Ini adalah bukti nyata yang menunjukkan kebenaran ajarannya dan Musa adalah seorang utusan Allâh.[11]

وَإِنْ يَكُ كَاذِبًا فَعَلَيْهِ كَذِبُهُ ۖ وَإِنْ يَكُ صَادِقًا يُصِبْكُمْ بَعْضُ الَّذِي يَعِدُكُمْ ۖ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ مُسْرِفٌ كَذَّابٌ

Dan jika ia seorang pendusta maka dialah yang menanggung (dosa) dustanya itu; dan jika ia seorang yang benar niscaya sebagian (bencana) yang diancamkannya kepadamu akan menimpamu.” Sesungguhnya Allâh tidak menunjuki orang-orang yang melampaui batas lagi pendusta. [Al-Mu’min/Ghâfir/40:28]

Jika dia pendusta dan engkau membiarkannya tetap hidup maka engkau akan selamat dan hal itu tidak akan mendatangkan mudharat kepadamu. Jika dia orang yang benar namun engkau menentangnya niscaya sebagian bencana yang diancamkan kepadamu akan menimpamu, tentu kalian tidak ingin mendapat sebagian kecil dari adzab itu, lalu bagaimana jika semua bencana itu menimpa kalian?!

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Nasehat seperti ini merupakan perkataan yang diungkapkan dengan nilai kelembutan yang sangat tinggi, kekokohan dan akal yang sempurna.[12]

يَا قَوْمِ لَكُمُ الْمُلْكُ الْيَوْمَ ظَاهِرِينَ فِي الْأَرْضِ فَمَنْ يَنْصُرُنَا مِنْ بَأْسِ اللَّهِ إِنْ جَاءَنَا

Hai kaumku! Untukmulah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi. Siapakah yang akan menolong kita dari adzab Allâh jika adzab itu menimpa kita!  [Al-Mu’min/Ghâfir/40:29]

Orang yang beriman dan berakal sempurna itu memberikan nasehat kepada kaumnya. Dia berkata, ”Wahai kaumku! Untuk kalianlah kerajaan pada hari ini dengan berkuasa di muka bumi” maksudnya kalian orang yang berkuasa dan mengendalikan mereka. ”Siapakah yang akan menolong kita dari adzab Allâh jika adzab-Nya menimpa kita” maksudnya meskipun jumlah kalian berlipat ganda dan berkekuatan besar, namun itu semua tidak akan bermanfaat bagi kalian dan tidak akan dapat menolak siksa dan adzab Raja diraja (Allâh Azza wa Jalla ). Dia mengingatkan mereka jangan sampai kerajaan ini dicabut dari mereka.

Karena, tidaklah suatu negeri itu bertentangan dengan agama melainkan negeri itu akan dilenyapkan dan akan dihinakan setelah dimuliakan.[13] Itu juga terjadi pada keluarga Fir’aun, mereka masih terus dalam keraguan serta tetap melancarkan perlawanan dan pengingkaran terhadap apa yang dibawa oleh Nabi Musa Alaihissalam kepada mereka sehingga Allâh Azza wa Jalla mengambil kerajaan, kekuasaan, istana, kekayaan, kenikmatan dan kesenangan yang ada pada mereka lalu mereka ditenggelamkan ke lautan dalam keadaan hina. Kehormatan dan kedudukan tinggi mereka berubah menjadi kehinaan dan tempat yang paling rendah. [14]

Kemudian Allâh Azza wa Jalla menceritakan bagaimana Fir’aun berkhianat dan menipu kaumnya dalam bantahannya terhadap perkataan orang yang beriman tadi.

قَالَ فِرْعَوْنُ مَا أُرِيكُمْ إِلَّا مَا أَرَىٰ وَمَا أَهْدِيكُمْ إِلَّا سَبِيلَ الرَّشَادِ

Fir’aun berkata, “Aku tidak mengemukakan kepadamu, melainkan apa yang aku pandang baik; dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar.” [Al-Mu’min/Ghâfir/40:29]

Fir’aun berdusta dalam perkataan dan bantahannya ini. Dia berkhianat kepada Allâh dan Rasul-nya dan juga kepada rakyatnya. Dia menipu rakyatnya dengan nasehatnya dan mengatakan, “dan aku tiada menunjukkan kepadamu selain jalan yang benar” yaitu maksudnya tidaklah apa yang aku serukan kepada kalian ini kecuali akan menuju jalan kebenaran dan kebaikan serta jalan petunjuk. Ini merupakan kedustaannya walaupun kemudian para pengikutnya mematuhinya dan mengikutinya. Allâh berfirman, “tetapi mereka mengikut perintah Fir’aun, padahal perintah Fir’aun sekali-kali bukanlah (perintah) yang benar.” [15] dan Allâh berfirman: Dan Fir’aun telah menyesatkan kaumnya dan tidak memberi petunjuk.[16]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

مَا مِنْ إِمَامٍ يَمُوْتُ يَوْمَ يَمُوْتُ وَهُوَ غَاشٌ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ مِنْ مَسِيْرَةِ خَمْسِمِائَةِ عَامٍ

Tidaklah diantara para pemimpin yang mati dimana pada hari kematiannya dalam keadaan dia khianat kepada rakyatnya kecuali dia tidak mencium wanginya surga dan sesungguhnya wanginya surga itu akan tercium dari jarak sejauh 500 tahun (perjalanan) [17]

Demikian sedikit kisah keimanan lelaki dari keluarga Fir’aun, semoga bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Wallahu a’lam

PELAJARAN DARI KISAH INI

  1. Kisah ini menampakkan bagaimana keimanan seseorang akan meneguhkannya dalam kebenaran dan orang yang mendakwahkan kebenaran dan mengajak kepada tauhid senantiasa akan ada musuh yang menentang dakwahnya.
  2. Pertarungan antara keimanan dan kekufuran, kebenaran dan kebathilan, petunjuk dan kesesatan akan terjadi di setiap zaman, walaupun beda orangnya, berbeda para pelakunya dan beda tempatnya. Pada kisah ini Nabi Musa Alaihissalam dan lelaki beriman ini berhadapan dengan Fir’aun dan kaumnya. Fir’aun dan kaumnya menentang kebenaran yang datang kepada mereka dengan cara mendustakan serta  melakukan ancaman dan pembunuhan. Akan tetapi ketika mereka berhadapan dengan kebenaran dan para pembela kebenaran yang menyandarkan kekuatannya kepada Allâh Azza wa Jalla maka kemenangan akan diraih oleh orang-orang yang bertakwa dan kebinasaan serta adzab bagi mereka yang melebihi batas lagi sombong. [18]
  3. Timbangan para pelaku kebathilan senantiasa terbalik, dari dahulu sampai sekarang. Mereka mempunyai standar ganda sebagaimana Fir’aun. Dia memandang dirinya sebagai orang yang melakukan kebaikan beralasan menjaga agamanya agar tidak berubah dan berganti seperti yang dikehendaki Musa. Maka jadilah Fir’aun itu seolah-olah orang yang menyerukan perbaikan dan mengajak kepada kebaikan dan keamanan hingga diapun menuduh nabi Musa Alaihissalam telah merubah-rubah agama (nenek moyang mereka) dan membuat kerusakan di muka bumi. [19]
  4. Perkataan seorang Mukmin di dalamnya terdapat nasehat dan peringatan karena apabila keimanan telah memenuhi hati maka dia akan menjadi orang yang berani menyuarakan dan membela kebenaran serta berani mengingkari kemungkaran. [20]
  5. Sesungguhnya tidaklah suatu negara menolak kebenaran agama kecuali akan dicabut kekuasaan dari mereka dan akan terhinakan setelah sebelumnya mereka dimuliakan. [21]
  6. Barangsiapa bertawakkal kepada Allâh Azza wa Jalla maka Dia akan mencukupinya, menolong dan menjaganya. Ketika nabi Musa Alaihissalam berlindung kepada Rabbnya dan bersandar serta bertawakkal kepada-Nya, maka Allâh Azza wa Jalla menjaganya dari keburukan Fir’aun. Ini juga terjadi pada nabi Hûd, nabi Ibrahim, dan Nabi Muhammad n ketika mereka semua bersandar dan berserah diri serta bertawakkal hanya kepada Allâh. [22].
  7. Kita  berada di zaman dimana musuh-musuh Islam, baik yang kafir maupun yang munafik banyak melakukan makar dan tipu daya, maka hendaknya kita memperbanyak doa Hasbunallâh Wa Ni’mal Wakîl. [23] Sesungguhnya orang-orang yang berdosa pasti akan binasa. [24]
  8. Wajib menolong orang yang terzhalimi, sebagaimana lelaki yang beriman dari keluarga Fir’aun ini menolong dan membela Nabi Musa Alaihissalam , karena menolong saudara Muslim yang terzhalimi adalah hak seorang Muslim  atas Muslim lainnya.
  9. Kekuasaan bisa mendorong seseorang untuk berbuat zhalim dan sewenang-wenang, dan seorang yang mempunyai teman yang jelek akan terhasut oleh perkataan temannya. Sebagaimana Fir’aun terhasut perkataan para pembesarnya.
  10. Memberi nasehat kepada penguasa adalah jihad yang paling utama dan dengan cara yang lemah lembut karenanya kita harus  sabar dalam menghadapi kezaliman penguasa.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XXI/1438H/2017M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  (QS.Al-Isrâ’/17:81)
[2] Shahîh Qashashul Anbiyâ’, Ibnu Katsir hlm 288; Maktabah al Furqân
[3] Lihat Shahîh Qashashul Anbiyâ’ hlm 278
[4] lihat Shahîh Qashashul Anbiyâ’ hlm 287
[5] (QS. Al-A’râf/ :127)
[6] Shahîh Qashashul Anbiyâ’, hlm 289
[7] lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an: hlm 108
[8] (QS.Al-Qashash/28:20)
[9] Tafsir Ibnu Katsir, 7/139
[10] (Hadits Shahih: Riwayat Abu Daud (4344); At Tirmidzi (2174); Ibnu Majah (4011); Ibnul Ja’di (3326); Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman (6/93))
[11] lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an; hlm 109
[12] Shahih Qashashul Qur’an ; Ibnu katsir, hlm 290 Maktabah al Furqân
[13] lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an; hlm109
[14] Shahîh Qashashul Qur’an ; hlm 290
[15] (QS. Hûd/11:97)
[16] (QS.Thâhâ/20:79)
[17] HR. Al-Bukhari Kitab al Ahkâm Bab Man Istar’a Râi’yah Fa lam Yanshah no 7151; Muslim Kitab Al Iman Bab Istihqâqul Wâshil ; 1/228 ;hlm 125
[18] Lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an hlm 103-104
[19] Lihat Al-Furqân Min Qhashashil Qur’an hlm 107
[20] Lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an hlm 108
[21] Lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an hlm 109
[22] Lihat (QS.Ath-thalaq/65:3) dan (QS. Az-Zumar/39: 36-37)
[23] Lihat Al-Furqân min Qhashashil Qur’an;hlm 118
[24] Lihat (QS. Al-Hasyr/59 :2)


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/10197-lelaki-beriman-dari-keluarga-firaun-2.html